Pengaruh Tari India terhadap Tari Jawa
Pengaruh Tari India terharap Tari Jawa
Mengenai
pengaruh tari India terhadap tari Jawa yang sangat besar telah diteliti oleh Alessandra
Lyer, ia tidak bisa secara langsung meneliti pose-pose tari yang terpahat pada
candi induk, yaitu Candi Siwa yang merupakan candi pusat dari kompleks
Prambanan yang sangat sarat dengan relief tari, akan tetapi ia harus
membandingkannya dengan relief tari yang terpahat di kuil-kuil di Tanjore,
Kumbakonam, dan Chidambaram. Awal kerunyaman pemugaran Candi Prambanan adalah
akibat dari tugas J. Groneman pada tahun 1889, yang memulai kerjanya dengan
memindah semua batu yang terserak di seputar situs candi ke dekat Sungai Opak
tanpa menyadari bahwa batu itu bernomor. Hasil kerja dia akhirnya mendapat
kritikan yang sangat pedas dari J.L.A. Brandes. Terdapat perbedaan pengertian
atau makna antara karana sebagai frase dengan ragam pada tari Jawa. Sebuah karana
memiliki rumusan gerak yang rumit, khas, dan tertentu yang bisa untuk
bercerita. Apabila di India ada 108 karana, pada tari Jawa gaya Yogyakarta
hanya ada 21 ragam atau tipe karakter, sedangkan untuk gaya Surakarta hanya ada
7. Lyer dalam penelitiannya telah menyadari betapa sulitnya mendeskripsikan
gerak atau teknik tari dengan kata-kata. Sebagai contoh adalah satuan kecil
dari gerak atau sub unit dari sub unit sebuah karana, yaitu gerak siras atau
kepala ke atas dan ke bawah.
Penelitian
tari yang menggambarkan betapa besarnya pengaruh tari India di Jawa pada abad
ke 9 adapun penelitian ansamble musik masa Jawa Kuno yang mengandalkan relief
di candi candi Jawa Tengah. Dikerjakan oleh Pieter Eduard Johannes Ferdinandus.
Kebudayaan Hindu sudah mulai pudar dan berkembang di jawa timur abad ke 10
sampai abad ke 15. Relief candi-candi Jawa Timur tidak tampak pengaruh dari
tari dan musik india beda denga jawa tengah yang menampilkan relief Ramayana
dan Mahabarata sedangaka di Jawa Timur menampilkan cerita Jawa seperti Panji
dan Calonarang. Maka dari itu Claire Holt berkomentar “pada masa Jawa Timur itu timbulah gaya-gaya baru” (the emergency of new styles). Betapa besarnya
pengaruh wiracarita Ramayana dan Mahabharata yang dari India itu terhadap
masyarakat Jawa misalnya Sungai Praga dan Sungai Serayu di Jawa Tengah sudah
jelas nama sungai yang terdapat di Wiracarita Ramayana yaitu Sungai Prayaga dan
Sungai Sarayu. Nama resmi Kasultanan Yogyakakarta adalah Ngayogyakarta
Adiningrat. Orang Jawa selalu mengubah ucapan dari kata aslinya seperti
ngayogya dalam kitab serat rama karya Yasadipura menjadi Ngayogya seperti nama
kerajaan pada rama. Karta berarti makmur jadi Ngayogyakarta berarti Ayodya yang
makmur. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I meninggalkan Keraton
Surakarta karena kecewa dan bertempat tinggal di sebuah desa tersebut tak dapat
dipungkiri nama desa tersebut nama Ayodya , kerajaan Rama. Nama Ngayogyakarta
kurang masih kurang wibawa dan belakang ditambah dengan kata Adiningrat berarti
“Yang indah di dunia” demikian Ngayogyakarta Adiningrat berarti Ayodya yang
Makmur yang indah di Dunia. Gelar Hamengku Buwono yang berarti mengelola dunia
gelar semacam ini dalam Hindu diberikan kepada Dewa Wisnu yang dianggap sebagai
pengelola Dunia. Nama-nama orang, terutama di kalangan bangsawan dan priyayi
banyak meminjam di kedua wiracarita yaitu Ramayana dan Mahabharata antara lain
Subrata ,Bimasena dan Laksmana hanya
orang Jawa saja rupanya merasa kurang terhadap nama-nama tersebut ditambah
dengan suku kata Su artinya indah atau memiliki keindahan contoh Subrata
,Sukarna, Sulaksmana dan sebagainya.
sumber : Buku Seni Pertunjukan Indonesia oleh Soedarsono
Komentar
Posting Komentar